Dalam kehidupan sehari-hari, praktik utang piutang sudah menjadi bagian tak terpisahkan, baik dalam konteks bisnis maupun hubungan pribadi. Tapi pernahkah terlintas pertanyaan: Apakah perkara hutang piutang bisa jadi pidana? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata tidak sesederhana “ya” atau “tidak“. Semuanya bergantung pada konteks, niat, dan tindakan di balik terjadinya utang tersebut.
Utang Piutang Masuk Ranah Perdata, Bukan Pidana
Secara umum, sengketa hutang piutang termasuk dalam wilayah hukum perdata. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan:
“Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”
Artinya, jika seseorang tidak mampu membayar utang karena kondisi ekonomi yang sulit, maka ia tidak bisa serta-merta dijebloskan ke penjara. Dalam hal ini, penyelesaiannya dilakukan melalui gugatan wanprestasi (ingkar janji) dalam hukum perdata, bukan pidana.
Peran Perjanjian dalam Sengketa Utang Piutang
Sering kali, perkara hutang piutang muncul dari hubungan pinjam-meminjam tanpa kejelasan perjanjian tertulis. Padahal, menurut Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata, sahnya perjanjian utang piutang ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu:
- Kesepakatan para pihak,
- Kecakapan hukum,
- Objek yang jelas,
- Tujuan yang halal.
Jika perjanjian ini dibuat secara sah, maka ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dijadikan bukti di pengadilan saat terjadi sengketa.
Baca Juga :
Kapan Utang Piutang Bisa Menjadi Pidana?
Meskipun pada dasarnya merupakan persoalan perdata, utang piutang bisa berubah menjadi perkara pidana jika mengandung unsur penipuan atau penggelapan. Dalam konteks ini, bukan sekadar soal tidak membayar utang, tetapi adanya niat jahat sejak awal.
Misalnya, jika seseorang meminjam uang dengan identitas palsu, membuat cerita bohong, atau bermaksud melarikan diri sejak awal, maka ia bisa dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Selain itu, Pasal 372 KUHP juga mengatur tentang tindak pidana penggelapan, jika utang yang diberikan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tanpa itikad baik untuk mengembalikan.
Hutang Piutang Tanpa Perjanjian Tertulis: Apa Risikonya?
Banyak kasus yang muncul dari praktek utang piutang tanpa perjanjian tertulis. Meskipun perjanjian lisan diakui dalam hukum perdata, perjanjian tertulis jauh lebih kuat sebagai alat bukti. Tanpa dokumen resmi, pihak yang dirugikan akan kesulitan membuktikan bahwa transaksi utang memang benar terjadi, apalagi jika pihak peminjam menyangkal.
Sanksi Bagi Peminjam yang Lalai Bayar Utang
Jika peminjam lalai atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana disepakati, maka ia dianggap wanprestasi. Konsekuensinya, ia bisa dikenakan:
- Kewajiban membayar ganti rugi,
- Pembatalan perjanjian,
- Pengalihan risiko,
- Bahkan diperkarakan secara perdata di pengadilan.
Namun demikian, sekali lagi, ketidakmampuan membayar utang bukanlah tindak pidana, selama tidak disertai niat jahat atau penipuan.
Contoh Kasus Hutang Piutang yang Masuk Ranah Pidana
Bayangkan seorang pengusaha bernama Budi yang sedang membutuhkan modal usaha sebesar Rp500 juta. Ia menghubungi rekannya, Pak Joko, yang bersedia memberikan pinjaman tersebut.
Sebagai jaminan, Budi menyerahkan selembar cek atas nama dirinya dengan nominal yang sama, dengan perjanjian bahwa apabila Budi gagal melunasi utang pada waktu jatuh tempo, Pak Joko boleh mencairkan cek tersebut untuk menutup piutangnya.
Namun, ketika jatuh tempo tiba, Pak Joko mencoba mencairkan cek tersebut ke bank, ternyata rekening Budi kosong dan cek tidak dapat dicairkan. Budi pun tidak merespons permintaan pembayaran, bahkan menghilang dari peredaran. Pak Joko pun resah, karena selain tidak mendapatkan kembali uangnya, ia juga merasa telah ditipu.
Analogi yang Perlu Dipahami
Secara umum, utang piutang adalah masalah perdata. Menurut UU HAM, seseorang tidak bisa dipenjara hanya karena tidak mampu membayar utang. Namun, cerita menjadi berbeda ketika ada penggunaan cek kosong sebagai jaminan. Pemberian cek kosong bukan sekadar wanprestasi atau gagal bayar biasa, melainkan mengandung unsur tipu muslihat.
Unsur Penipuan dalam Cek Kosong
Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya (misal Putusan Nomor 133K/Kr/1973) telah menegaskan bahwa seseorang yang menyerahkan cek dengan sadar bahwa di rekeningnya tidak ada dana yang cukup, tindakannya dapat dikategorikan sebagai penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Unsur penipuan ini terpenuhi karena sejak awal Budi sudah tahu bahwa cek yang dia berikan tidak akan bisa dicairkan, namun tetap memberikannya sebagai jaminan palsu untuk mendapatkan kepercayaan dan uang dari Pak Joko.
Proses Hukum yang Dapat Ditempuh
Pak Joko dapat mengambil dua jalur hukum sekaligus:
- Jalur Perdata: mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri untuk menuntut pelunasan utang dan ganti rugi.
- Jalur Pidana: melaporkan Budi ke kepolisian atas dugaan penipuan karena memberikan cek kosong dengan itikad buruk. Jika terbukti, Budi dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun sesuai Pasal 378 KUHP.
Ekspansi: Efek Jera dan Perlindungan Hukum
Kasus seperti ini sering terjadi dalam dunia bisnis, terutama dalam transaksi besar. Penggunaan cek kosong sebagai jaminan bukan hanya merugikan pihak pemberi pinjaman, tetapi juga merusak kepercayaan dalam dunia usaha.
Oleh karena itu, penegakan hukum pidana terhadap pelaku penipuan dengan cek kosong sangat penting untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat dari praktik serupa di masa mendatang.
Utang piutang pada dasarnya adalah ranah perdata dan tidak dapat dipidana. Namun, jika ada unsur penipuan seperti penggunaan cek kosong dengan itikad buruk, perkara tersebut bisa berubah menjadi tindak pidana penipuan yang dapat dijerat dengan pidana penjara. Ini menegaskan bahwa kejujuran dan transparansi dalam setiap perjanjian utang piutang sangat penting untuk menghindari jeratan pidana.
Kesimpulan: Tidak Semua Kasus Hutang Bisa Dipenjara
Jadi, menjawab pertanyaan: Apakah perkara hutang piutang bisa jadi pidana? Jawabannya: bisa iya, bisa tidak.
- Jika peminjam memang tidak mampu membayar karena kondisi ekonomi dan tidak memiliki niat jahat, maka kasus ini hanya perkara perdata.
- Tapi jika sejak awal sudah ada itikad buruk, pemalsuan, atau kebohongan, maka kasus ini bisa naik menjadi perkara pidana, dan peminjam bisa dijerat pasal penipuan atau penggelapan.
Pahami juga bahwa pasal hutang tidak dibayar bukan berarti serta-merta berlaku pidana. Utang piutang baru berpotensi pidana jika menyentuh unsur-unsur sebagaimana disebut dalam KUHP.
Temukan Solusi Terbaik untuk Masalah Piutang Bisnis Anda
Dari uraian di atas, jelas bahwa perkara utang piutang pada dasarnya termasuk dalam ranah hukum perdata dan bukan pidana, selama tidak terdapat unsur penipuan atau penggelapan.
Ketidakmampuan membayar utang bukanlah alasan sah untuk mempidanakan seseorang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) UU HAM. Namun, jika dalam prosesnya ditemukan niat jahat atau tipu muslihat, maka persoalan ini bisa merambah ke ranah pidana sesuai Pasal 372 dan 378 KUHP. Karena itu, sangat penting memahami dasar hukum utang piutang agar tidak keliru menempuh jalur penyelesaian.
Dan jika Anda saat ini menghadapi masalah penagihan piutang yang rumit dan butuh solusi yang praktis, legal, dan tetap etis, Debt Recovery Indonesia (DRI) adalah mitra yang tepat. DRI adalah brand jasa hukum spesialis penagihan piutang komersial yang telah berpengalaman lebih dari 20 tahun, dipercaya oleh lebih dari 400 klien nasional dan multinasional, serta telah menangani lebih dari 75.000 perkara.
DRI menggunakan metode hybrid yang menggabungkan pendekatan personal, hukum, dan psikologis, menciptakan strategi penagihan yang efektif namun tetap berlandaskan etika. Jika Anda membutuhkan penyelesaian yang tegas namun elegan untuk masalah piutang Anda, percayakan pada DRI, solusi legal dan terpercaya untuk masalah piutang bisnis Anda.